Photobucket
  • Selamat Datang Di Web Wihara Satya Dharma
  • Semoga Informasi Di Web Ini Bisa Membantu Anda
  • Terima Kasih Anda Telah Berkunjung.

Struktur Pengurus Pemuda Tridharma Indonesia Cabang Wihara Satya Dharma JatiAsih - Bekasi Periode 2010 - 2012

Pemuda Tridharma Indonesia Cabang Wihara Satya Dharma Jatiasih, baru saja melaksanakan MUSCAB IV (14 Nov 2010) yang dihadiri oleh Ketua Pemuda Tridharma Indonesia Daerah Bekasi Sdr. Handrie beserta Jajarannya. Dalam MUSCAB IV tersebut yang berjalan dengan lancar dan di warnai sedikit interupsi memutuskan Sdr. Andrean Tamsani sebagai ketua Pemuda Tridharma Indonesia cabang Wihara Satya Dharma Jatiasih periode 2010 - 2012. Dalam Kepengurusan Periode 2010-2012 ini hampir didominasi oleh Remaja.
Berikut ini Struktur organisasi Pemuda Tridharma Indonesia Cabang Wihara Satya Dharma Jatiasih ;


Struktur Pengurus Pemuda Tridharma Indonesia
Cabang Wihara Satya Dharma JatiAsih - Bekasi
Periode 2010 - 2012


Berdasarkan Keputusan MUSCAB IV
Pemuda Tridharma Indonesia Cabang Wihara Satya Dharma

Dewan Pembina :
Ketua Majelis Wihara Satya Dharma Jati Asih
Ketua Pemuda Tridharma Indonesia Daerah Bekasi

Asnawati, SPd.,MM.
Guta Wijaya

Johan Giyanto,SE



Ketua :
Andrean Tamsani

Wk.Ketua I :
Alex Irawan,SE

Wk.Ketua II :
Hery Susanto,ST

Sekretaris I :
Sucita

Sekretaris II :
Septiana

Bendahara :
Devi Merliani,SE


Seksi Sekolah Minggu & Remaja :
Desi (Koordinator)
Evi
Novita Tania
Ernawati,ST


Seksi Rohani :
Ratna (koordinator)
Saddha
Yunha
Hellen


Seksi Kegiatan :
Januardi (Koordinator)
Andres Wijaya
Desi Natalia
Hans Susanto


Seksi Humas :
Hendra Jasa (koordinator)
Salpian
Lenih
Luncai



Jadwal Kebaktian


Jadwal Kebaktian
Wihara Satya Dharma
Jati Asih - Bekasi


Kebaktian UMUM, Setiap Minggu Jam. 19.30 WIB

Sekolah Minggu, Setiap Minggu Jam. 08.00 WIB


Acara Perayaan Kathina 2554 BE / 2010 Wihara Satya Dharma

Menyambut hari Kathina 2554 BE / 2010, Kami Panitia Acara Perayaan Kathina Wihara Satya Dharma Jati Asih - Bekasi mengajak bapak/Ibu dan Rekan-rekan semua untuk berpartisipasi pada acara :


- AMISADANA

- PINDAPATTA


Adapun acara tersebut akan kami laksanakan pada :

Tanggal : 7 November 2010
Pukul : 08.00 WIB
Tempat : Wihara Satya Dharma Jati Asih - Bekasi



Untuk acara AMISADANA dan PINDAPATTA disini kami memberikan kemudahan kepada Bapak/Ibu dan rekan-rekan semua untuk berdana. Kami selaku Panitia acara memberikan beberapa pilihan yaitu ;


PAKET A RP 50.000

PAKET B RP 100.000

PAKET C RP 150.000

PAKET D RP 400.000


Dari Paket diatas kami selaku panitia acara akan menyesuaikan jumlah nominal rupiah dengan barang yang akan didanakan untuk paket A, B, dan C adalah perlengkapan Bhikku yang dibutuhkan sehari-hari seperti peralatan mandi, obat-obatan dan lain-lain.

Kami Sangat mengharapkan bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu dan rekan-rekan semua agar acara ini bisa berlangsung dengan baik tanpa mengurangi nilai-nilai agama yang terkandung didalamnya.


Asal Usul Hari Kathina

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Dhammavicaro



Dalam menyambut masa Kathina yang berlangsung selama satu bulan , ada baiknya kita mengingat dan menelusuri kembali sejarah Kathina. Bagi umat Buddha, masa Kathina erat kaitannya dengan berdana kepada Sangha. Masa Kathina selalu disambut umat Buddha dengan begitu meriah, ini dapat dilihat dari semangat umat Buddha memperingati Kathina dengna berbondong-bondong datang ke Vihara. Mereka dengan perasaan bahagia, dan penuh ketulusan hati melakukan persembahan kepada Sangha.

Peristiwa ini sudah berlangsung beribu-ribu tahun lamanya dan menarik sekali apabila kita telusuri bagaimana sesungguhnya Kathina sampai ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama?

Sejarah mencatat bahwa setelah meraih Pencerahan Agung, Sang Buddha melakukan perjalanan ke Taman Rusa Isipatana, di dekat Benares. Beliau membabarkan Dhamma yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta kepada lima orang pertapa yang pernah menjadi sahabatNya? Kondana, Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Setelah menguraikan khotbah pertama, Sang Buddha tetap tinggal disana. Beliau bertemu dengan Yasa -- anak seorang pedagang kaya raya di Benares -- dan memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Disamping itu, Sang Buddha juga membabarkan Dhamma kepada ayah Yasa dan empat sahabat Yasa. Mereka beserta para pengikutnya -- semuanya berjumlah lima puluh lima orang -- meninggalkan kehidupan berumah tangga, memasuki kehidupan tanpa rumah (menjadi Bhikkhu), dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

Jumlah siswa Sang Buddha yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat pada saat itu sebanyak enam puluh orang. Kepada mereka Sang Buddha menyerukan untuk menyebarkan Dhamma dengan berkata :

"Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, O para Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat jasmania; demikianlah pula kamu sekalian, sekarang kamu harus menggembara untuk kesejahteraan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan hakikatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma mereka akan kehilangan manfaat yang besar. Karena mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma".

Masa penyebaran Dhamma telah dimulai. Tetapi pada saat itu Sang Buddha belum menyatakan masa Vassa dan masa Kathina. Semangat untuk menyebarkan Dhamma dalam diri para Bhikkhu nampaknya sangat besar.

Hal ini bisa terlihat dari adanya sekelompok Bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas, maupun musim hujan (Sebagaimana diketahui di India hanya dikenal tiga Musim).

Melihat hal ini masyarakat mengkritik dengan mengatakan, "Mengapa para Bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas dan musim hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rumput-rumputan, serta merusak kehidupan yang sangat penting dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? Tetapi pertapa-pertapa lain, yang walaupun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (Vinaya), namun mereka menetap selama musim hujan".

Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang Bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian di atas. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal, dan bersabda :

"Para Bhikkhu, saya izinkan kamu untuk melaksanakan masa Vassa".

Kemudian terpikir oleh para Bhikkhu,

"Kapan masa Vassa dimulai ?".

Mereka menyatakan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau kemudian menyatakan, "Saya izinkan kamu melaksanakan masa Vassa selama musim hujan".

Kemudian terpikir lagi oleh para Bhikkhu,

"Berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa ?".

Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau berkata,

"O para Bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa, yang awal dan yang berikutnya. Yang awal dimulai sehari setelah purnama di bulan Asalhi (Kini dikenal dengan Hari Raya Asadha) dan yang berikutnya dimulai sebulan setelah purnama di bulan Asalhi. Itulah dua periode untuk memulai musim hujan". Sejauh ini belum ada ketetapan mengenai Kathina Upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Sang Buddha baru menetapkan masa Vassa dan sejak saat itu, para Bhikkhu melaksanakan masa Vassa. Pada masa Vassa para Bhikkhu menetap selama musim hujan dan melatih dirinya.

Kathina mempunyai kisah tersendiri, sebagai berikut, pada waktu itu Sang Buddha menetap di Savatthi, di hutan Jeta di vihara yang di dirikan oleh Anathapindika. Ketika itu terdapat tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava sedang mengadakan perjalanan ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Buddha.

Ketika masa Vassa tiba, mereka belum sampai di Savatthi. Mereka memasuki masa Vassa di Saketa dengan berpikir,

"Sang Buddha tinggal sangat dekat, hanya enam yojana dari sini tetapi kita tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Sang Buddha".

Setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, dengan jubah basah kuyup dan kondisi yang lelah mereka sampai di Savatthi. Setelah memberi hormat, mereka duduk dengan jarak yang pantas.

Sang Buddha berkata,

"O para Bhikkhu, semoga semuanya berjalan dengan baik. Saya berharap kalian mendapatkan sokongan hidup. Selalu penuh persahabatan dan harmonis dalam kelompok. Kamu melewatkan masa Vassa dengan menyenangkan dan tidak kekurangan dalam memperoleh dana makanan".

Kemudian para Bhikkhu menjawab:

"Segala sesuatu berjalan dengan baik, Sang Bhagava. Kami mendapatkan sokongan yang cukup, dalam kelompok selalu penuh persahabatan dan harmonis, dan mendapatkan dana makanan yang cukup. Kami sebanyak tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Bhagava, tetapi ketika musim hujan mulai, kami belum sampai di Savatthi untuk bervassa. Kami memasuki masa Vassa dengan penuh kerinduan dan berpikir, Sang Bhagava tinggal dekat dengan kita, enam yojana, tetapi kita tidak mempunyai kesempatan melihat Sang Bhagava. Kemudian kami, setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, menjalankan pavarana, hujan, ketika air telah berkumpul, rawa telah terbentuk, dengan jubah yang basah kuyup dan kondisi yang lemah dalam perjalanan yang jauh".

Setelah memberikan wejangan Dhamma,Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu,

"O para Bhikkhu, Saya izinkan untuk membuat jubah Kathina bila menyelesaikan masa Vassa secara lengkap........".

Demikianlah izin membuat jubah Kathina ditetapkan Sang Buddha ketika Beliau tinggal di Savatthi.

Sampai sekarang Kathina tetap diperingati sebagai upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha. Hubungan harmonis antara Bhikkhu Sangha dan umat awam seperti yang tercermin dalam masa Kathina ini, sungguh merupakan suatu berkah dalam kehidupan ini. Kathina memang memberikan makna yang mendalam bagi umat Buddha.

Berdana Di Bulan Kathina

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Candakaro


Memberikan dana dengan penuh keyakinan, hendaknya Sila selalu dilaksanakan, rajin melatih Samadhi, maka ia akan dapat terlahir di alam Surga.

Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama, ia masih membutuhkan bantuan atau dukungan dan dorongan dari pihak lain. Demikian pula umat mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap para Bhikkhu, salah satunya adalah menyokong kebutuhannya, (Sigalovada Sutta, Diggha nikaya III, 31).

Apakah kebutuhan para Bhikkhu itu? Mengenai hal ini adalah empat macam kebutuhan pokok, yaitu: Sandang, pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal dan obat-obatan, itu adalah kebutuhan yang pokok. Oleh karena itu para umat Buddha menyokongnya dengan cara berdana, seperti halnya pada hari Kathina. Setelah masa Vassa (berdiam di satu tempat selama tiga bulan pada musim hujan) selesai, ada hari yang disebut: Pavarana (mengundang) tiga bulan setelah Vassa pada bulan purnama, para Bhikkhu mengakhiri Vassa dengan mengadakan Pavarana bersama-sama, yaitu: saling mengundang Bhikkhu yang satu dengan yang lainnya untuk memberikan nasehat atau memberi maaf, barangkali ada kesalahan. Kemudian ada hari yang disebut: Berdana Kathina di dalam Ajaran Sang Buddha.

Ada beberapa pengertian tentang yang disebut berdana Kathina dengan sempurna, yaitu:

1.Di Vihara itu minimal ada 5 orang Bhikkhu yang berVassa.
2.Kelima orang Bhikkhu itu harus memasuki masa Vassa yang sama.
3.Harus menyelesaikan masa Vassa pada waktu yang sama dan sempurna.
4.Kathina itu harus diselenggarakan di Uposathagara.
5.Pada upacara itu, kelima orang Bhikkhu yang berVassa di vihara itu menerima persembahan Kathina dusam (kain pembuat jubah Kathina) yang dipersembahkan oleh umat.
6.Kelima orang Bhikkhu itu kemudian serentak membuat sangha kamma, memutuskan siapakah Bhikkhu yang berhak menerima jubah Kathina pada waktu itu.

Keputusan itu ditempuh dengan suatu cara prosedur yang demokratis. Seorang atau beberapa orang Bhikkhu mengajukan usul, bhikkhu yang lain memperkuat dan yang lain menyetujui. Dan akhirnya jubah Kathina itu diserahkan kepada Bhikkhu yang berhak untuk menerima. Bahan jubah itu harus dipotong, dijahit, dicelup pada hari itu juga dan sebelum fajar menyingsing, jubah harus sudah siap dan diserahkan kepada bhikkhu yang berhak. Inilah yang disebut Jubah Kathina, inilah Kathina puja yang sesungguhnya.

Demikianlah yang dijelaskan oleh Sang Buddha, betapa besar manfaat bagi seseorang yang bisa mempersembahkan Kathina dana, sebab Kathina dana tak dapat dipersembahkan setiap saat.

Kathina dana hanya bisa dipersembahkan di suatu vihara dan hanya berhak menyelenggarakan Kathina satu kali pada waktu tahun itu.

Pada upacara kathina, selain mempersembahkan jubah kepada Sangha, para umat nampaknya juga mempersembahkan empat kebutuhan pokok bagi para Bhikkhu. Banyak umat yang tidak sempat mempersiapkan empat kebutuhan pokok ini, maka umat buddha menggantikan dengan wujud uang. Kita sebagai umat buddha tentunya perlu sekali mengerti dengan benar, bagaimana cara berdana yang baik itu. Dana yang diberikan seseorang akan menjadi dana yang bermanfaat, kalau berdana dengan baik dan benar.


Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1.Cetana-sampada

Kalau saudara Ingin berdana, hendaknya saudara mempunyai pikiran yang ikhlas, senang dan bahagia. Mengenai hal ini adalah:

*Sebelum berdana merasa senang dan bahagia.
*Pada waktu berdana merasa senang dan bahagia.
*Sesudah berdana merasa senang dan bahagia.

Dari ketiga hal ini, yang paling penting adalah yang ketiga, Walaupun yang kesatu dan kedua juga penting.
Misalnya : sebelum berdana senang, waktu memberikan ikhlas, sesudahnya menyesal. Ini sangat disayangkan, karena mengurangi nilai kebaikannya. Didalam Kitab Suci dijelaskan, orang yang mempunyai kebiasaan seperti ini, waktu muda ia akan hidup makmur, kaya raya dan sejahtera. Tapi itu semua hanya bertahan separuh umur. Jaya hanya kira-kira sampai lima puluhan tahun, sesudah itu mengalami kemerosotan dan akhirnya menjadi miskin. Yang paling baik dan jasanya dapat bertahan lama adalah merasa bahagia, ikhlas, gembira dan bahagia, baik sebelum, pada saat maupun sesudah berdana.

2.Vatthu-sampada

Barang yang didanakan sebaiknya barang-barang yang bersih, yang didapat dari tidak melanggar Negara dan Agama dan dana ini haruslah baik, yang disebut Sami Dana. Janganlah berdana yang tak bisa dipergunakan lagi baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

Dana untuk para Bhikkhu, orang tua, guru, disebut: Puja Dana (dana sebagai persembahan perhormatan). Tidak sama dengan berdana untuk orang miskin, gelandangan, pegawai saudara, ini disebut: Anugaha Dana (berdana sebagai hadiah, sebagai anugerah).

3.Puggala-sampada

Berdana kepada siapa? Sang Buddha pernah dituduh seseorang: "Apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang tidak punya moral itu tidak ada gunanya?" Sang Buddha kemudian menjawab: "Aku tidak pernah mengatakan bahwa berdana tidak ada gunanya, meskipun orang membuang sisa-sisa dari satu panci atau mangkuk kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para makhluk hidup di dalamnya dapat memperoleh makanan, perbuatan inipun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia".Inilah yang Tathagatha ajarkan, (Anguttaranikaya III, 57). Sang Buddha menyatakan: "Berdana kepada Sangha sangat besar jasanya".

Di dalam Velumakkha-Sutta disebutkan: "Berdana kepada orang yang bermoral lebih besar jasanya daripada berdana kepada orang yang tidak punya moral. Kepada Sotapanna lebih besar dari orang yang bermoral. Kepada seorang Sakadagami lebih besar dari 100 Sotapanna. Kepada seorang Anagami lebih besar dari 100 Sakadagami. Kepada seorang Arahat lebih besar dari 100 Anagami. Kepada seorang Paccekka Buddha lebih besar dari 100 Arahat. Kepada seorang Sammasam-buddha lebih besar dari 100 Paccekka Buddha. Berdana kepada Sangha lebih besar jasanya dari berdana kepada seorang Samma-sambuddha. Dana kepada Sangha tak pernah sia-sia, sekalipun sampai seratus ribu kalpa lamanya".

Berdana kepada sangha itu lebih besar manfaatnya, karena tidak mengenal favoritisme. Berbeda dengan berdana hanya untuk seorang bhikkhu, yang disebut: Puggala Dana (dana untuk individu). Sang Buddha juga menguraikan, masih ada yang lebih besar jasanya daripada berdana untuk Sangha, yaitu melaksanakan sila, sebagai orang awam menjalankan Pancasila lebih besar manfaatnya daripada Sangha Dana, yaitu meditasi sampai mencapai Jhana (tingkatan konsentrasi). Dan yang lebih besar lagi adalah meditasi Vipassana, karena meditasi Vipassana ini akan menumbuhkan Panna (kebijaksanaan). Dengan Panna inilah yang akan dapat membebaskan seseorang dari dukkha untuk selama-lamanya (mencapai kebebasan sempurna nibbana).

Sang Buddha pernah menyatakan, "Siapa yang suka berdana ia akan dicintai dan disukai". Ini manfaat yang langsung dapat dipetik pada kehidupan sekarang ini.

Sedangkan manfaat yang dijelaskan dalam Nidhikhanda Sutta, Samyuta Nikaya I, 2: "Wajah cantik, suara merdu, kemolekkan dan kejelitaan, kekuasaan serta mempunyai banyak pengikut, semua itu dapat diperoleh dari pahala perbuatan baik, yaitu berdana".

Ada kalanya, orang berdana hanya karena ingin dipuji dan dicintai, supada dapat terlahir dialam surga, supaya menjadi kaya dan mempunyai kekuasaan, maka orang itu hanya akan mendapatkan itu saja. Tetapi sesungguhnya ada tujuan yang tertinggi, yaitu untuk mengurangi keserakahan, kemelekatan, kekikiran, kebencian dan untuk dapat mencapai kebebasan (kesucian batin). Maka kalau cita-citanya tinggi seperti itu, tujuan yang tengah-tengah dan bawah pasti akan tercapai juga.

Orang yang tak suka berdana yang walaupun kecil atau sedikit, ia akan besar keserakahannya, ia akan mengumpulkan dan terus mengumpulkan, nama, kekayaan, pangkat dan pujian. Ia senang mengumpulkan, bahkan mengumpulkan problem, kesan yang tidak baik, pengalaman pahit, kemarahan, kejengkelan dan ketidaksenangan. Orang yang tidak suka berdana ia akan menderita, karena tidak suka melepas miliknya, ia akan semakin melekat, karena tidak bisa melepaskan segalanya. Padahal apa yang kita cintai, apa yang kita miliki toh akhirnya akan ditinggalkan, tidak ada sedikitpun yang dibawa ke alam sana, yang dibawa hanyalah kamma baik dan kamma buruknya. Makan tidak enak, tidur pun tak nyenyak dengan tidak melepas kesan yang buruk, problem yang berhubungan dengan sesama makhluk akan menumbuhkan kebencian dan dendam. Janganlah semua itu disimpan, dikumpulkan, tetapi buang lepaskan semuanya, maka kita akan merasa lega, tentram, damai dan bahagia.

Hidup ini sudah banyak macam persoalan alamiah, Sang Buddha mengatakan: "Hidup yang bagaimanapun bentuknya adalah dukkha, janganlah menambah persoalan ekstra, lepaskanlah semua itu". Dan kita bisa mulai berlatih untuk melepas dengan meningkatkan kemurahan hati dan mengurangi kekikiran juga kemelekatan dengan berdana (memberi kepada mereka yang patut menerima). Dana bukan berarti hanya berupa materiil semata: uang, makanan dan barang. Tetapi bisa juga berupa moril: nasehat-nasehat, pertolongan, dorongan, perhatian dan pemberian maaf. Kalau orang yang tidak pernah berdana, maka suatu saat kalau jasa kebaikannya habis pasti ia akan menderita, seperti contoh: Orang punya kacang lima butir, tapi kacang itu hanya dinikmati dan dimakan semuanya. Maka kacang itu habis, akan tetapi kalau misalnya kacang itu disisihkan satu atau dua butir dan ditanam diladang yang baik dan subur, maka kelak jika kacang itu berbuah akan dapat ia nikmati. Seperti halnya orang yang berdana, itu bagaikan orang menanam bibit.

Orang berdana bagaikan menabung, yaitu menabung kamma baik yang akan bisa menolongnya dan yang akan menyelamatkannya.

Menurut Dhamma, memberi bukan berarti berkurang, namun memberi sesungguhnya adalah bertambah (bertambah kamma baiknya). Didalam Kitab Itivutaka, 18 Sang Buddha menjelaskan: "Seandainya semua makhluk mengetahui seperti Aku (Tathagatha) mengetahui tentang manfaat berdana, mereka tidak akan menikmati semua yang mereka miliki tanpa membaginya dengan makhluk lain (yang membutuhkan), juga tidak akan membiarkan noda kekikiran mengoda dan menetap didalam batinnya. Bahkan jika apa yang mereka miliki merupakan sedikit makanan terakhir yang dipunyai, mereka tidak akan menikmati tanpa membaginya (berdana), seandainya ada makhluk lain yang sangat membutuhkannya".

Kita sebagai umat Buddha, mestinya harus mengerti manfaat yang paling besar dari berdana, yaitu: tidak hanya dipuji, terkenal, menjadi kaya dan terlahir di Alam Dewa. "Manfaat yang paling besar dari berdana adalah bebas dari kekotoran batin". Kalau ada orang berdana (memberi bantuan) hanya ingin dipuji, maka itu adalah sangatlah rendah, apalagi bila keinginannya untuk dipuji itu tidak didapatkan, pasti kecewa dan menderita.

Menurut Dhamma, kalau seseorang ingin menjadi kaya, berjuanglah dengan sungguh-sungguh, kerja keras, rajin, tekun, ulet, hemat (tidak boros), jujur dan banyak berbuat baik. Cita-cita itu pasti akan tercapai, karena itu adalah hukumnya.

Kekayaan tidak bisa didapat hanya dengan cara memohon, berdoa dan sembahyang, namun kekayaan bisa didapat kalau orang bekerja atau berkarya menurut hukum kebenaran

Apakah Agama Buddha Itu Kuno?

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera


Kalau kita melihat agama Buddha 'secara sepintas' maka kita akan dihadapkan pada satu anggapan bahwa agama Buddha adalah agama yang tidak menarik, agama yang kadang-kadang terlihat bersifat mistis dan sudah tidak cocok lagi dengan kehidupan modern seperti sekarang ini. Mengapa demikian? Coba kita perhatikan semua perlengkapan sembahyang yang ada di altar. Ada patung yang maha besar dan kita bernamaskara atau satu persujudan kepada patung tersebut sehingga orang lalu menyatakan bahwa agama Buddha adalah penyembah berhala. Kita juga akan menemukan dupa/hio dan bunga yang mirip seperti untuk sesajen. Kemudian ada lilin yang seolah-olah berkata bahwa agama Buddha belum percaya akan adanya listrik. Belum lagi terlihat gentong yang memberi kesan seolah-olah kita sedang berada disebuah toko barang antik. Kalau kita perhatikan lagi, kita akan menemukan makhluk-makhluk yang lebih antik lagi; yakni bahwa di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, kita tetap duduk di lantai bila sedang melaksanakan kebaktian. Dari sinilah kritikan-kritikan terhadap agama Buddha dilontarkan! Kita mungkin pernah mendengar orang mengatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang sudah kuno dan ketinggalan zaman. Hal ini dapat dimengerti karena mereka hanya melihat dari sudut tradisi/luar saja. Padahal ajaran Sang Buddha tidak pernah ketinggalan zaman.


Lalu apa buktinya bahwa agama Buddha itu mengikuti perkembangan zaman? Setiap kali kita mengikuti kebaktian, kita tentu membaca tuntunan Tisarana dan Pancasila yaitu menghindari pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan. Apakah Pancasila ini sudah kuno dan milik umat Buddha saja? Apakah agama lain menghalalkan pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan? Tentu kita akan menjawab: "Tidak!" karena semua manusia pasti harus melaksanakan Pancasila baik pada masa yang lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Ini adalah satu bukti bahwa ajaran Sang Buddha selalu mengikuti perkembangan zaman.

Mungkin hal ini belum dapat memuaskan Saudara karena masih terlalu umum. Untuk itu mari kita lihat intisari/jantung dari seluruh ajaran Sang Buddha. Apakah intisari/jantung ajaran Sang Buddha itu? Intinya adalah "kurangi kejahatan, tambahlah kebaikan, sucikan hati dan pikiran". Apakah hal tersebut hanya berlaku di zaman Sang Buddha dan hanya milik agama Buddha saja? Apakah agama lain menganjurkan: "tambahlah kejahatan, kurangi kebaikan dan kacaukan pikiran?" tentu tidak! Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha sudah kuno dan ketinggalan zaman. Karena sesungguhnya ajaran Sang Buddha selalu mengikuti zaman! Bahkan Albert Einstein yang terkenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan pernah menyatakan bahwa "Agama yang bisa menjawab tantangan ilmu pengetahuan adalah agama Buddha".

Oleh karena itu berbahagialah kita sebagai umat Buddha. Namun hanya berpuas diri sebagai umat Buddha masih belum cukup, karena ada ajaran yang lebih dalam lagi yaitu kita hendaknya bisa melaksanakan ajaran Sang Buddha di dalam kehidupan sehari-hari. Ini penting sekali karena ajaran Sang Buddha itu tidak hanya bersifat teori tetapi perlu dilaksanakan! Hal ini sama halnya dengan contoh orang yang mempunyai hobby berenang. Misalnya Saudara diberitahu bahwa berenang itu menyenangkan dan dengan bisa berenang maka Saudara tidak perlu lagi takut kepada air. Lalu Saudara suka berkhayal tentang berenang. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mau mencoba, apakah Saudara akan bisa berenang, walaupun teori-teori berenang sudah dikuasai? Apakah Saudara cuma cukup berbangga: "Ah... saya 'kan bisa teori berenang." Tentu tidak! Demikian pula dengan ajaran Sang Buddha! Ajaran Sang Buddha memang sungguh luar biasa, begitu agung, begitu indah dan tidak pernah ketinggalan zaman. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mempraktekkannya, apakah hal tersebut akan bermanfaat? Justru dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha, Saudara akan bisa menyelesaikan permasalahan di dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu bagaimanakah cara menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan ajaran Sang Buddha? Sebetulnya ajaran Sang Buddha itu sudah terbabar di altar, hanya saja kita jarang memperhatikannya. Perlengkapan sembahyang yang dianggap kuno itu ternyata mampu menjadi salah satu medium yang dapat membabarkan Dhamma karena tersirat makna yang cukup dalam dan bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan:


1. Patung Sang Buddha

Patung Sang Buddha ini bentuknya bermacam-macam. Ada yang menggunakan bentuk seperti payung yang ada di Candi Borobudur, ada yang menggunakan gaya India, Thailand, Srilanka, dsb. Kenapa bisa berbeda-beda? Karena sesungguhnya patung Sang Buddha bukan melambangkan/mewujudkan manusia Siddhattha Gotama. Jadi kalau Saudara berada di depan patung Sang Buddha, jangan Saudara membayangkan bahwa Sang Buddha itu seperti patung yang ada di hadapan Saudara atau yang pernah Saudara lihat. Kalau kita mengingat kembali riwayat hidup Sang Buddha, kita akan melihat bahwa ketika Beliau masih menjadi bodhisatva, sesungguhnya Beliau memiliki satu kehidupan yang sangat berlebihan; ada harta, tahta dan wanita. Namun Pangeran Siddhattha adalah manusia yang mempunyai cara berpikir yang berbeda. Ketika Beliau menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya tidak kekal dan tidak memuaskan, Beliau pun memutuskan untuk mencari obat yang dapat mengatasi ketuaan, sakit, lahir dan mati; walaupun sangat menderita, Beliau terus berjuang. Bahkan pada suatu hari Beliau bertekad untuk tidak akan berdiri dari tempat duduknya sebelum menemukan obat sakit, tua, lahir dan mati; dan malam itu juga Beliau berhasil menembus hakekat hidup yang tidak kekal yang disebut mencapai Nibbana/padamnya keinginan, yang sekarang diperingati setiap hari Waisak. Inilah sesungguhnya makna yang terkandung dari patung Sang Buddha yaitu lambang semangat yang tidak pernah kenal putus asa. Ketika melihat patung Sang Buddha, hendaknya muncul semangat untuk bekerja, semangat untuk berjuang dalam meraih cita-cita. Kita bersujud di depan patung Sang Buddha adalah untuk menghormati Guru kita yang telah mengajarkan kebenaran, jadi bukan menyembah pada patung. Dengan demikian, kita tidak akan pernah kekurangan/kehilangan semangat dalam perjuangan hidup kita.


2. Lilin

Lilin ini sesungguhnya juga merupakan suatu lambang. Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya seorang umat Buddha mau berkorban untuk kebahagiaan makhluk lain. Pengorbanan besar telah diberikan oleh Guru kita; 6 tahun menderita dan membaktikan diri selama 45 tahun untuk mengajarkan Dhamma setiap hari. Kita pun sebagai murid-muridNya hendaknya bersikap demikian; seperti lilin yang menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya kita sebagai umat Buddha bisa menjadi pelita di dalam kehidupan bermasyarakat dengan kebenaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha.


3. Bunga

Bunga melambangkan ketidak kekalan; hari ini indah dan wangi tetapi besok akan layu, lusa akan membusuk dan dibuang. Demikian pula dengan diri kita; hari ini kita masih sehat, kuat dan cantik tetapi dengan berlalunya sang waktu; kesehatan, kekuatan dan kecantikan kita pun akan berkurang. Seperti bunga yang sekarang segar, besok akan layu dan dibuang; demikian juga hendaknya kita selalu menyadari bahwa pada suatu ketika kita pun akan dibuang, berpisah dengan yang dicintai dan berkumpul dengan yang dibenci. Oleh karena itu, tidak ada gunanya kita sombong/berbesar kepala karena semua ada batasnya dan tidak kekal. Ini adalah Dhamma yang dipesankan lewat altar.


4. Air

Air ini melambangkan pembersih segala kotoran. Seperti air yang membersihkan semua debu-debu kekotoran; demikian juga ajaran Sang Buddha hendaknya bisa membersihkan segala kekotoran yang melekat di batin dan pikiran kita baik ketamakan, kebencian maupun kebodohan.


 

Web Sahabat

Web Sahabat

Web Sahabat